Sebuah keajaiban bertahan selama hampir satu abad di desa Rianiate, Kecamatan Padangsidimpuan Barat, Tapanuli Selatan. Ribuan ikan jurung berukuran sampai 50 cm dengan berat mencapai 2 kg lebih, hidup liar dalam sebuah sungai kecil dan dangkal yang mengalir di belakang rumah penduduk. Bila kemarau tiba dan debit sungai mengecil, hanya 1/3 dari tubuh ikan-ikan itu yang benam dalam air. Gampang sekali menangkapnya. Tapi penduduk tidak memakan atau mengganggunya. Sebuah kepercayaan keramat telah menyelamatkan mereka dari kepunahan. Kebelet menyaksikan pemandangan ajaib ini? Tidak gampang! Desa Rianiate adalah desa pedalaman yang terisolir dari darat dan merupakan pemukiman terakhir ke arah pesisir timur Kabupaten Tapsel.
Jalan daratnya
melewati beberapa puncak perbukitan dengan bebatuan yang sudah dibungkus
lumpur. Saat ini, praktis tidak ada mobil yang berani masuk. Bahkan kendaraan
roda dua pun sangat jarang melintas, sehingga rerumputan mulai tumbuh di bekas
lindasan roda. Dari Padangsidimpuan, ibu kota Tapsel, simpang menuju desa
Rianiate dicapai dengan melewati jalur beraspal Padangsidimpuan-Sibolga selama
satu jam perjalanan. Sebelum mencapai jembatan Batang Toru, terdapat tempat
wisata pemandian Aek Parsariran. Kita bisa beristirahat atau mandi-mandi di sini,
karena Parsariran memang sudah dikelola sebagai lokasi wisata dan pemerintah
sudah membangun fasilitas-fasilitas seperti pondok-pondok, ruang ganti,
mushalla, dan toko-toko jualan.
Dari
Parsariran, simpang Rianiate hanya berjarak sekitar 3 km, persis sebelum
jembatan Aek Batang Toru. Kita harus berbelok ke kiri dan melanjutkan
perjalanan melewati desa Hapesong dan perkebunan milik swasta. Sampai beberapa
kilometer ke dalam, kondisi jalan masih bagus. Setelah itu, jalan sudah berbatu
dan berlobang, meski masih dilewati satu dua angkutan pedesaan. Segalanya
menjadi suram dan sulit begitu sampai di desa Simataniari. Dari sini,
perjalanan mulai mendaki dengan batu-batunya yang tajam dan besar. Satu gugusan
pegunungan lagi harus dilalui dengan perjalanan sulit yang memakan waktu
sekitar tiga jam.
Penduduk sekitar melewatinya dengan berjalan
kaki, termasuk anak-anak SD dari desa Bahung yang berlokasi di sebuah lembah di
balik gunung tersebut. “Cuma di sana SD paling dekat. Aku sama kawan-kawan
sudah biasa melewati gunung, tapi karena jalannya curam dan berlumpur, kami
nggak bisa pakai sepatu,” kata Dalian, seorang siswa SD kelas 6. Desa Bahung
hanyalah pemukiman yang berisi belasan rumah dan satu gereja kecil. Sekitar
30-an anak SD tetap bersekolah meski harus melewati hutan dan gunung tiap hari.
Dari Bahung ke desa Rianiate, badan jalan makin menyempit dengan beberapa
jembatan kayu yang sudah bobrok. Perkampungan terakhir di pinggiran Danau Siais
itu menampilkan suasana masa lalu. Sebagian besar rumah penduduk terbuat dari
papan yang sudah berusia tua dan berbentuk panggung. Satu-satunya bangunan
mewah di sana adalah mesjid yang berdiri di pinggir sungai Rianiate yang konon
pembiayaannya dibantu oleh mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar.
Mesjid ini punya sejarah yang cukup panjang, karena desa Rianiate juga termasuk
perkampungan tua. Saat ini jumlah penduduknya sekitar 270 rumah tangga.
Pada awalnya bangunan mesjid itu hanyalah
sebuah tempat peribadatan sederhana. Alkisah, pada tahun 1939, seorang syekh
pengikut tarekat naqsabandiyah datang dari Desa Tabuyung, pesisir barat. Ia
mendirikan persulukan persis di pinggiran sungai Rianiate. Suatu masa, sang
syekh menghadapi masalah dengan air sungai yang dipakainya sebagai tempat
wuduk. Ia merasa air sungai makin kotor oleh aktivitas penduduk di bagian hulu,
sehingga syarat untuk sebuah tempat wuduk yang bersih tidak terpenuhi lagi.
Setelah berikhtiar dan berdoa pada Tuhan, beliau akhirnya mendapat pemecahan
yang konon datang dari sebuah mimpi. Entah ia dapatkan dari mana, suatu hari ia
membawa seekor ikan jurung besar (penduduk setempat menyebutnya ikan merah).
Ikan itu ia lepas di sungai belakang mesjid dengan tujuan menjadi penyaring
kotoran dari hulu.
Ini sebenarnya bisa dijelaskan lewat ilmu
biologi, yakni membasmi sesuatu dengan memanfaatkan sifat rantai makanan
makhluk hidup. Ikan jurung tersebut memakan kotoran-kotoran dari hulu dan
seterusnya berkembang biak menjadi ribuan ekor. Untuk kelestariannya, syekh dan
pengikutnya melarang penduduk mengambil dan memakan ikan-ikan itu. Sebuah
kepercayaan kemudian berkembang. Sampai hari ini penduduk sangat meyakini bahwa
ikan jurung itu bukanlah ikan biasa. Mereka “dilindungi” oleh sang syekh dan
tidak ada seorang pun yang selamat bila berani memakan atau mengambilnya.
Menurut Henry Dalimunthe, seorang penduduk yang tinggal di tepi sungai, sudah
banyak kejadian yang membuktikan keyakinan mereka itu. Suatu hari dua orang
pendatang dari Padangsidimpuan menangkap dan membakar ikan untuk “teman”
(tambul) minum tuak. Keduanya lantas meninggal dalam keadaan mabuk. Kemudian
seorang anak muda tiba-tiba buta matanya dalam tugasnya sebagai operator alat
berat untuk pelebaran sungai. Diduga, ia telah mengganggu ketenteraman ikan
karena membuat sungai keruh.
Beberapa kasus lain adalah orang-orang yang
perutnya gembung setelah nekad mengabaikan peringatan warga. “Kami tidak pernah
melarang siapapun menangkap atau memakan ikan merah. Tapi kami sudah memberi
peringatan duluan. Tapi kalau tidak percaya juga, kami biarkan saja. Jadi,
jangan salahkan kami kalau terjadi sesuatu kemudian,” ujar Henry serius.
Keanehan lain yang memperkuat mitos itu adalah tingkah laku ikan yang tidak
pernah jauh-jauh dari sekitar mesjid. Mereka hanya mau berenang paling jauh
dalam radius sekitar 20 meter ke hilir atau ke hulu. Dalam sungai yang dangkal
tersebut, ikan-ikan jurung bergerombol dan bergabung dengan penduduk yang mandi
atau mencuci. Bayangkan, ribuan ekor jurung seberat 2 kiloan berkeliaran di
sekeliling Anda dengan sebagian tubuhnya tak muat lagi dalam air. Ini adalah
pemandangan langka dan mungkin satu-satunya di dunia! Sebuah kearifan
tradisional telah menjaga populasi jurung di Rianiate. Entah sampai kapan
hubungan unik manusia dan ikan ini bertahan. Menurut penduduk setempat, belakangan,
kasus kematian ikan merah makin sering terjadi.
Bila kemarau
terlalu panjang, ikan-ikan mati mengambang sampai ratusan ekor. Persentuhan
warga dengan produk-produk modern seperti deterjen telah mempengaruhi kualitas
air sungai. Diduga, pada saat kemarau, tingkat konsentrasi pencemaran sungai
menjadi tinggi, dan akhirnya membunuh ikan. Panorama Siais dan Aek Batang Toru
Selain keajaiban ikannya, desa Rianiate masih punya simpanan lain untuk
dikunjungi. Menyusuri sungai Rianiate sejauh kira-kira 1 km lagi ke hilir, kita
akan berakhir pada sebuah danau yang sangat indah: Danau Siais. Puluhan sungai
besar dan kecil dari gugusan pegunungan di sekelilingnya memberikan kontribusi
air, termasuk Aek Batang Toru sebagai penyumbang terbesar. Danau Siais adalah danau
terluas kedua yang dimiliki Sumatera Utara setelah Danau Toba. Tapi potensi
wisata ini belum terjamah sama sekali. Sebaliknya, para mafia kayu sudah
mencederai duluan hutan-hutan di sekelilingnya. Sebagai danau alam, Siais
menyimpan manfaat ekonomi yang besar bagi masyarakat di sekitarnya. Warga
memenuhi lauk-pauk dengan cara menangkap ikan.
Sebagai sarana transportasi penyeberangan,
mereka membuat sampan. Tak heran bila warga Rianiate sendiri adalah orang-orang
yang terampil membikin sampan. Bahkan, hari ini, warga Rianiate telah membuat
perahu yang lebih besar untuk alat transportasi sungai. Perahu dengan kapasitas
20 penumpang itu memiliki ukuran sepanjang 15 meter dengan lebar badan 1 meter.
Sebagai penggeraknya, mereka memakai mesin kompeng berbahan bakar solar. Tak
kurang dari 7 perahu kompeng melayani rute Rianiate—Batang Toru dan sebaliknya
setiap hari. Dari sungai Rianiate yang sempit, perahu motor pelan-pelan
menghilir ke danau, lalu keluar melalui mulut sungai Batang Toru. Setelah
meninggalkan panorama Siais yang indah dan tenang, perahu kompeng selanjutnya
bergerak ke hulu menentang arus Batang Toru yang cukup deras. Waktu yang
dibutuhkan untuk sampai ke Batang Toru sekitar 3 jam dengan jarak tempuh
kira-kira 60 km.
Selama
penyusuran sungai ini, panorama juga cukup menyenangkan. Beberapa jenis satwa
liar seperti elang, biawak, dan monyet menjadi daya tarik pemandangan di
sepanjang pinggiran sungai. Sekali-sekali, rumah-rumah penduduk yang lebih
tepat disebut gubuk dapat dilihat. Penghuninya adalah anak-anak kandung
pedalaman yang hidup dengan sangat sederhana. Sungai Batang Toru adalah salah
satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Ke hilir, arusnya berakhir ke laut di
pesisir barat setelah lebih dulu membagi airnya sebagian ke Danau Siais. Sedangkan
ke hulu, Batang Toru melintasi Tarutung, Tapanuli Utara. Di sana masyarakat
mengenalnya dengan nama Aek Sarulla. Saking populernya, sungai ini sudah
memberi inspirasi pada terciptanya sebuah lagu Batak yang juga cukup dikenal
karena sering diajarkan pada anak-anak SD. Petikannya antara lain “Aek Sarulla,
tu dia ho laho. Na ginjang ma nian jalan mi…”. (Sungai Sarulla, ke mana kau
pergi. Panjang kali nian jalanmu…). Selain karena besar dan panjangnya,
belakangan Batang Toru alias Sarulla juga mulai disebut-sebut karena memiliki
jeram yang sangat menantang antara Desa Sipetang sampai jembatan Trikora di
Batang Toru. Kelompok pecinta alam Kompas USU yang dipimpin Robert AP Lubis
pertama kali mengarunginya pada tahun 2002. Menurut salah seorang aktivis Kompas
USU, Popoy, sungai Batang Toru memiliki satu jeram besar dengan grade 6. Belum
ada yang berani melewatinya, karena risikonya sangat dekat dengan maut. Sebagai
perbandingan, arung jeram Asahan yang berkapasitas internasional, hanya
memiliki jeram tertinggi dengan grade 5+ dan juga belum ada kelompok yang
berani mengarunginya.
0 komentar:
Posting Komentar